Sekarang kita memasuki Harga Pokok Penjulana (COGS) untuk Usaha Dagang (Trading). Di artikel ini akan dibahas mengenai alur, jurnal, perhitungan, dan pelaporan Harga Pokok Penjualan (COGS). Inventory Valuation akan menjadi salah satu topic penting. Kajian perpajakan terkait dengan COGS akan menjadi penutup artikel ini.
Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya: Harga Pokok Penjualan (COGS) – Basic, bahwa untuk usah dagang (trading), entah itu wholesaler maupun retailer, perhitungan harga pokok penjualannya lebih sederhana dibandingkan dengan usaha manufaktur (Industry), namun demikian usaha dagang memiliki characteristic yang khas, antara lain :
[-]. Tidak menggunakan mesin produksi, oleh karenanya tidak akan ada depreciation cost atas mesin. Mungkin ada depreciation cost atas peralatan. Misal : peralatan vacuum untuk packing.
[-]. Tidak ada Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), jikapun ada tenaga kerja yang terlibat dalam membawa barang tersebut menjadi siap untuk dijual, cost-nya sulit untuk dialokasikan sebagai Upah Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), oleh karenanya upah tenaga kerja seperti ini biasanya dibebankan sebagai bagian dari “Overhead Cost” i.e.: Ongkos packing.
[-]. Cost perusahaan dagang siklusnya lebih pendek.
[-]. Menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan dagang yang menjual barang yang relative sama dalam jenis, ukuran dan kwalitas, oleh karenanya diperlukan penerapan methode tertentu untuk menilai barang persediaannya (Inventory Valuation) yang tentunya juga akan berpengaruh langsung terhadap pembebanan inventory cost-nya.
Struktur Harga Pokok Penjualan (COGS) Usaha Dagang
Harga Pokok Penjualan usaha dagang terdiri dari 2 kelompok besar yaitu: Persediaan Barang (Inventory ) dan Overhead saja.
A. Inventory :
Adalah persediaan barang dagangan yang diperoleh dari sisa persediaan periode sebelumnya yang dalam akuntansi kita sebut sebagai saldo awal persediaan (opening balance) ditambah dengan pembelian pada periode yang sama, dikurangi dengan sisa persediaan di akhir periode (Saldo Akhir = Closing Balance), itulah inventory Cost yang dibebankan sebagai Harga Pokok Penjualan.
Jika kita konstruksi,maka struktur lengkap inventory-nya akan seperti dibawah ini:
A.1. Opening Balance
A.2. Purchase:
A.2.a. Purchase
A.2.b. Freight In
A.2.c. Discount
A.2.d. Return
A.3. Sales
A.4. Closing Balance
B. Overhead:
Elemen HPP (COGS) usaha dagang yang kedua adalah overhead, yaitu cost yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap harga pokok penjualan, berikut adalah overhead cost yang biasa muncul pada usaha dagang:
B.1. Packing
B.2. Warehousing
B.3. Freight Out
Akumulasi semua element cost diatas itulah Total Harga Pokok Penjualan usaha dagang.
Detail dari masing-masing elemen di atas akan kita bahas pada sub-topic berikut ini.
Alur, Siklus Transaksi dan Jurnalnya
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa elemen COGS perusahaan dagang terdiri dari kelompok besar yaitu: Inventory dan Overhead Cost.
Alur dan siklus Transaksi Inventory Cost:
Setiap proses akuntansi yang terkait dengan Neraca selalu berawal dari: Neraca berupa saldo awal (Opening Balance), dilanjutkan dengan Current Activities (Transaksi Debit [minus] Transaksi Credit), yang pada akhirnya akan bermuara ke Neraca kembali berupa saldo akhir (Closing Balance).
Demikian halnya dengan Inventory, Inventory adalah bagian dari Neraca. Maka alur inventory juga berawal dari saldo awal inventory, selanjutnya:
Jika terjadi pembelian barang dagangan, maka saldo inventory akan bertambah juga.
Jurnalnya:
[Debit]. Inventory à Menambah saldo inventory di Neraca
[Credit]. Cash / Utang à Mengurangi saldo Kas di Neraca
Dan jika terjadi penjualan barang dagangan , maka saldo inventory akan berkurang. Pada saat terjadi penjualan inilah Inventory Cost diakui:
Jurnalnya:
[Debit]. Cost of Goods Sold à Menambah Saldo COGS di Laba Rugi
[Credit]. Inventory à Mengurangi saldo Inventory di Neraca
Catatan: COGS adalah cost yang akan menjadi faktor pengurang Laba, seperti kita ketahui Laba adalah element Neraca. Berkurangnya inventory pada aktiva di seimbangkan oleh berkurangnya laba pada pasiva. Sehingga Neraca akan tetap dalam kondisi balance.
Karena ini transaksi penjualan, maka penjualan diakui di saat yang sama
Jurnalnya:
[Debit]. Cash/Piutang à Menambah Saldo Cash atau Piutang di Neraca
[Credit]. Sales à Menambah saldo penjualan di Laba Rugi
Catatan: Sales adalah revenue yang akan menjadi faktor penambah Laba, Laba adalah element Neraca. Berkurangnya Cash/Piutang pada aktiva di seimbangkan oleh bertambahnya laba pada pasiva.
Jika kita gambarkan dalam bentuk diagram, maka alur transaksi harga pokok penjualan akan menjadi seperti dibawah ini:
Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya: Harga Pokok Penjualan (COGS) – Basic, bahwa untuk usah dagang (trading), entah itu wholesaler maupun retailer, perhitungan harga pokok penjualannya lebih sederhana dibandingkan dengan usaha manufaktur (Industry), namun demikian usaha dagang memiliki characteristic yang khas, antara lain :
[-]. Tidak menggunakan mesin produksi, oleh karenanya tidak akan ada depreciation cost atas mesin. Mungkin ada depreciation cost atas peralatan. Misal : peralatan vacuum untuk packing.
[-]. Tidak ada Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), jikapun ada tenaga kerja yang terlibat dalam membawa barang tersebut menjadi siap untuk dijual, cost-nya sulit untuk dialokasikan sebagai Upah Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), oleh karenanya upah tenaga kerja seperti ini biasanya dibebankan sebagai bagian dari “Overhead Cost” i.e.: Ongkos packing.
[-]. Cost perusahaan dagang siklusnya lebih pendek.
[-]. Menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan dagang yang menjual barang yang relative sama dalam jenis, ukuran dan kwalitas, oleh karenanya diperlukan penerapan methode tertentu untuk menilai barang persediaannya (Inventory Valuation) yang tentunya juga akan berpengaruh langsung terhadap pembebanan inventory cost-nya.
Struktur Harga Pokok Penjualan (COGS) Usaha Dagang
Harga Pokok Penjualan usaha dagang terdiri dari 2 kelompok besar yaitu: Persediaan Barang (Inventory ) dan Overhead saja.
A. Inventory :
Adalah persediaan barang dagangan yang diperoleh dari sisa persediaan periode sebelumnya yang dalam akuntansi kita sebut sebagai saldo awal persediaan (opening balance) ditambah dengan pembelian pada periode yang sama, dikurangi dengan sisa persediaan di akhir periode (Saldo Akhir = Closing Balance), itulah inventory Cost yang dibebankan sebagai Harga Pokok Penjualan.
Jika kita konstruksi,maka struktur lengkap inventory-nya akan seperti dibawah ini:
A.1. Opening Balance
A.2. Purchase:
A.2.a. Purchase
A.2.b. Freight In
A.2.c. Discount
A.2.d. Return
A.3. Sales
A.4. Closing Balance
B. Overhead:
Elemen HPP (COGS) usaha dagang yang kedua adalah overhead, yaitu cost yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap harga pokok penjualan, berikut adalah overhead cost yang biasa muncul pada usaha dagang:
B.1. Packing
B.2. Warehousing
B.3. Freight Out
Akumulasi semua element cost diatas itulah Total Harga Pokok Penjualan usaha dagang.
Detail dari masing-masing elemen di atas akan kita bahas pada sub-topic berikut ini.
Alur, Siklus Transaksi dan Jurnalnya
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa elemen COGS perusahaan dagang terdiri dari kelompok besar yaitu: Inventory dan Overhead Cost.
Alur dan siklus Transaksi Inventory Cost:
Setiap proses akuntansi yang terkait dengan Neraca selalu berawal dari: Neraca berupa saldo awal (Opening Balance), dilanjutkan dengan Current Activities (Transaksi Debit [minus] Transaksi Credit), yang pada akhirnya akan bermuara ke Neraca kembali berupa saldo akhir (Closing Balance).
Demikian halnya dengan Inventory, Inventory adalah bagian dari Neraca. Maka alur inventory juga berawal dari saldo awal inventory, selanjutnya:
Jika terjadi pembelian barang dagangan, maka saldo inventory akan bertambah juga.
Jurnalnya:
[Debit]. Inventory à Menambah saldo inventory di Neraca
[Credit]. Cash / Utang à Mengurangi saldo Kas di Neraca
Dan jika terjadi penjualan barang dagangan , maka saldo inventory akan berkurang. Pada saat terjadi penjualan inilah Inventory Cost diakui:
Jurnalnya:
[Debit]. Cost of Goods Sold à Menambah Saldo COGS di Laba Rugi
[Credit]. Inventory à Mengurangi saldo Inventory di Neraca
Catatan: COGS adalah cost yang akan menjadi faktor pengurang Laba, seperti kita ketahui Laba adalah element Neraca. Berkurangnya inventory pada aktiva di seimbangkan oleh berkurangnya laba pada pasiva. Sehingga Neraca akan tetap dalam kondisi balance.
Karena ini transaksi penjualan, maka penjualan diakui di saat yang sama
Jurnalnya:
[Debit]. Cash/Piutang à Menambah Saldo Cash atau Piutang di Neraca
[Credit]. Sales à Menambah saldo penjualan di Laba Rugi
Catatan: Sales adalah revenue yang akan menjadi faktor penambah Laba, Laba adalah element Neraca. Berkurangnya Cash/Piutang pada aktiva di seimbangkan oleh bertambahnya laba pada pasiva.
Jika kita gambarkan dalam bentuk diagram, maka alur transaksi harga pokok penjualan akan menjadi seperti dibawah ini:
Perhitungan COGS Usaha Dagang
Perhitungan Harga Pokok Penjualan usaha dagang sederhana saja :
HPP (COGS) = Inventory Cost + Overhead
Inventory Cost :
Perhitungan Harga Pokok Penjualan usaha dagang sederhana saja :
HPP (COGS) = Inventory Cost + Overhead
Inventory Cost :
Opening Balance + Purchase - Closing Balance
Purchase:
Purchase:
Purchase + Freight In – Discount - Return
Case:
UD. Sinar Kasih, pedagang kain di Pasar Tanah Abang , pada tanggal 01 Maret memiliki persediaan kain dengan nilai Rp 1,000,000,- Selama bulan Maret UD. Sinar Kasih, untuk bisa melayani semua pesanan dan penjualan, UD Sinar Kasih membeli kain dari Bandung senilai Rp 48,000,000 ditambah ongkos kirim sebanyak Rp 1,000,000. Selama bulan Maret UD Sinar kasih berhasil melakukan penjualan sebesar Rp 65,000,000. pada tanggal 31 Maret UD. Sinar Kasih membayar Listrik Rp 350,000, PAM Rp 50,000, Sewa toko Rp 10,000,000, Gaji pegawai toko Rp 800,000 dan ongkos kirim barang ke pelanggan sebesar Rp 500,000. Setelah dihitung fisik kainnya, diketahui saldo akhir persediaan kain adalah Rp 300,000 saja.
Problems:
[1]. Berapa Harga Pokok Penjualan UD Sinar Kasih untuk periode Maret?
[2]. Berapa Laba Kotor UD. Sinar Kasih untuk Maret?
Solving:
[1]. Harga Pokok Penjualan:
HPP = Inventory Cost + Overhead
Inventory Cost = Opening Balance + Purchase – Closing Balance
Inventory Cost = 1,000,000 + (48,000,000+1,000,000) – 300,000
Inventory Cost = 49,700,000
Overhead Cost :
Apakah listrik termasuk? Tidak karena berapapun jumlah transaksi biaya listrik tetap
Apakah PAM termasuk? Tidak
Sewa Toko termasuk? Tidak
Gaji pegawai toko termasuk? Tidak
Ongkos kirim kain ke pelanggan? Termasuk, Rp 500,000
Overhead Cost = Rp 500,000
Harga Pokok Penjualan = Rp 49,700,000 + 500,000 = Rp 50,200,000
[2]. Laba Kotor : Sales – Harga Pokok Penjualan
Laba Kotor = Rp 65,000,000 – 50,200,000 = Rp 14,800,000,-
Mudah bukan?
Begitulah typically contoh kasus yang biasa kita jumpai, semudah itu.
Pernahkah berpikir: Darimana Saldo Akhir persediaan sebesar Rp 300,000 ribu di atas diperoleh?. Ini kuncinya!
Inventory Valuation & Penentuan COGS
Menilai persediaan barang gampang-gampang susah.
Gampangnya?
Case:
UD. Sinar Kasih, pedagang kain di Pasar Tanah Abang , pada tanggal 01 Maret memiliki persediaan kain dengan nilai Rp 1,000,000,- Selama bulan Maret UD. Sinar Kasih, untuk bisa melayani semua pesanan dan penjualan, UD Sinar Kasih membeli kain dari Bandung senilai Rp 48,000,000 ditambah ongkos kirim sebanyak Rp 1,000,000. Selama bulan Maret UD Sinar kasih berhasil melakukan penjualan sebesar Rp 65,000,000. pada tanggal 31 Maret UD. Sinar Kasih membayar Listrik Rp 350,000, PAM Rp 50,000, Sewa toko Rp 10,000,000, Gaji pegawai toko Rp 800,000 dan ongkos kirim barang ke pelanggan sebesar Rp 500,000. Setelah dihitung fisik kainnya, diketahui saldo akhir persediaan kain adalah Rp 300,000 saja.
Problems:
[1]. Berapa Harga Pokok Penjualan UD Sinar Kasih untuk periode Maret?
[2]. Berapa Laba Kotor UD. Sinar Kasih untuk Maret?
Solving:
[1]. Harga Pokok Penjualan:
HPP = Inventory Cost + Overhead
Inventory Cost = Opening Balance + Purchase – Closing Balance
Inventory Cost = 1,000,000 + (48,000,000+1,000,000) – 300,000
Inventory Cost = 49,700,000
Overhead Cost :
Apakah listrik termasuk? Tidak karena berapapun jumlah transaksi biaya listrik tetap
Apakah PAM termasuk? Tidak
Sewa Toko termasuk? Tidak
Gaji pegawai toko termasuk? Tidak
Ongkos kirim kain ke pelanggan? Termasuk, Rp 500,000
Overhead Cost = Rp 500,000
Harga Pokok Penjualan = Rp 49,700,000 + 500,000 = Rp 50,200,000
[2]. Laba Kotor : Sales – Harga Pokok Penjualan
Laba Kotor = Rp 65,000,000 – 50,200,000 = Rp 14,800,000,-
Mudah bukan?
Begitulah typically contoh kasus yang biasa kita jumpai, semudah itu.
Pernahkah berpikir: Darimana Saldo Akhir persediaan sebesar Rp 300,000 ribu di atas diperoleh?. Ini kuncinya!
Inventory Valuation & Penentuan COGS
Menilai persediaan barang gampang-gampang susah.
Gampangnya?
Kalau barang tersebut sifatnya unique (berbeda antara barang yang satu dengan yang lainnya, dari: harganya, ukuran, kwalitas, warna, unit price) tentu mudah untuk kita manage, apalagi jika barangnya sedikit. Tinggal pasang sticker/hanging tag pada masing-masing barang (per batch), isi specification & unit price di masing-masing sticker. Trus di akhir periode lakukan PHYSICAL COUNT…. Bang ! dapat sudah. Itu namanya menggunakan PHYSICAL COUNT METHOD.
Susahnya?
Bagaimana jika barangnya tunggal, dan tidak unique, fisiknya semua sama, warna sama, bentuk sama, ukuran sama, kwalitas juga sama atau relative sama, yang dijual barang itu-itu saja dari periode ke periode, tetapi harga belinya variatif, beda-beda, harga jualpun beda-beda tentunya. Bagaimana menghitungnya? Begaimana menentukan Inventory-nya, Bagaimana menentukan Inventory Cost-nya?. Bukankah harga beli diketahui, seharusnya bisa menentukan berapa inventory costnya. Tetapi kadang-kadang sisa barang 2 hari yang lalu harganya Rp 5/biji sebanyak 5 biji, trus tadi beli sebanyak 10 biji harganya Rp 6, sementara tadi laku 11 biji. Trus harga pokoknya dihitung berapa? Rp 5/biji atau Rp 6 per biji?.
Okay, kita punya 3 pilihan methode untuk menentukan Harga Pokok sekaligus nilai persediaan di akhir periode nanti, yaitu:
[1]. Average Method
[2]. FIFO Method
[3]. LIFO Method
Bagaimana jika barangnya tunggal, dan tidak unique, fisiknya semua sama, warna sama, bentuk sama, ukuran sama, kwalitas juga sama atau relative sama, yang dijual barang itu-itu saja dari periode ke periode, tetapi harga belinya variatif, beda-beda, harga jualpun beda-beda tentunya. Bagaimana menghitungnya? Begaimana menentukan Inventory-nya, Bagaimana menentukan Inventory Cost-nya?. Bukankah harga beli diketahui, seharusnya bisa menentukan berapa inventory costnya. Tetapi kadang-kadang sisa barang 2 hari yang lalu harganya Rp 5/biji sebanyak 5 biji, trus tadi beli sebanyak 10 biji harganya Rp 6, sementara tadi laku 11 biji. Trus harga pokoknya dihitung berapa? Rp 5/biji atau Rp 6 per biji?.
Okay, kita punya 3 pilihan methode untuk menentukan Harga Pokok sekaligus nilai persediaan di akhir periode nanti, yaitu:
[1]. Average Method
[2]. FIFO Method
[3]. LIFO Method
Case:
UD. Cahaya Murni adalah toko yang menjual gula tebu. Pada tanggal 01 Maret diketahui Jumlah persediaan sebanyak 100 Kg, dengan nilai Rp 300,000. Dan dari buku catatan nampak transaksi seperti dibawah ini:
Jika kita summarize maka menjadi:
Problem:
Berapa Inventory Cost UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Nilai Persediaan UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Laba Kotor UD. Cahaya Murni jika tidak ada Overhead Cost?
Seperti saya sebutkan di atas, bahwa persediaan type ini dapat kita ukur hitung dengan menggunakan 3 methode. Kita akan coba hitung dengan menggunakan masing-masing methode di atas:
Berapa Inventory Cost UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Nilai Persediaan UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Laba Kotor UD. Cahaya Murni jika tidak ada Overhead Cost?
Seperti saya sebutkan di atas, bahwa persediaan type ini dapat kita ukur hitung dengan menggunakan 3 methode. Kita akan coba hitung dengan menggunakan masing-masing methode di atas:
[1]. Metode Rata-rata (Average Method)
Harga Pokok (Inventory Cost) Barang yang terjual per unit-nya ditentukan dengan menjumlahkan saldo awal dengan nilai pembelian, lalu dibagi dengan Quantity saldo akhir ditambah dengan Quantity barang yang dibeli. Formulasinya:
HPP/Unit = (Rp Saldo awal + Rp Pembelian) : (Qty Saldo Awal + Qty pembelian)
Total HPP terjual = HPP/Unit x Qty terjual
Saldo Akhir = Saldo Awal + Pembelian - Penjualan
Pada contoh kasus di atas:
HPP/Unit penjualan 01-Mar:
HPP/Unit = (Rp 300,000+0) : (100+0)
HPP/Unit = Rp 300,000 : 100 = Rp 3,000,-
Total HPP terjual = Rp 3,000 x 40 = Rp 120,000
Saldo Akhir = Rp 300,000 + 0 – 120,000 = Rp 180,000
Demikian setrusnya hingga akhir periode.
Jika saya teruskan semua transaksi maka tabelnya akan seperti dibawah ini:
Catatan : Perhatikan summary
COGS = Rp 396,565
Closing Balance = Rp 206,435
Kita uji dengan rumus:
Closing Balance = Opening Balance + Purchase - COGS
Closing Balance = 300,000 + 303,000 - 396,565
Closing Balance = Rp 206,435,-
[2]. FIFO Method
FIFO acronym dari “First In First Out” maksudnya, barang yang masuk duluanlah yang dijual terlebih dahulu.
Transaksi 1 Maret:
Karena barang yang ada hanya saldo awal 100 kg, maka yang dijual sebanyak 40 kg menggunakan unit cost saldo awalnya = 300,000 : 100 = Rp 3,000
Total HPP 1 Maret = Rp 3,000 x 40 kg = Rp 120,000
Closing Balance = Rp 300,000 – 120,000 = Rp 180,000
Transaksi 10 Mar:
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Karena tanggal 1 Mar sudah laku 40 kg, maka sisa barang yang menggunakan unit price sebelumnya tinggal 60 kg, tidak cukup untuk menutup penjualan yang 65 kg, maka:
60 kg menggunakan unit price Rp 3,000
5 kg menggunakan unit price Rp 3,100
Total HPP 10 Maret:
60 x 3,000 = 180,000
5 x 3,100 = 15,500
----------------------- (+)
Total HPP = 195,500,-
COGS = Rp 396,565
Closing Balance = Rp 206,435
Kita uji dengan rumus:
Closing Balance = Opening Balance + Purchase - COGS
Closing Balance = 300,000 + 303,000 - 396,565
Closing Balance = Rp 206,435,-
[2]. FIFO Method
FIFO acronym dari “First In First Out” maksudnya, barang yang masuk duluanlah yang dijual terlebih dahulu.
Transaksi 1 Maret:
Karena barang yang ada hanya saldo awal 100 kg, maka yang dijual sebanyak 40 kg menggunakan unit cost saldo awalnya = 300,000 : 100 = Rp 3,000
Total HPP 1 Maret = Rp 3,000 x 40 kg = Rp 120,000
Closing Balance = Rp 300,000 – 120,000 = Rp 180,000
Transaksi 10 Mar:
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Karena tanggal 1 Mar sudah laku 40 kg, maka sisa barang yang menggunakan unit price sebelumnya tinggal 60 kg, tidak cukup untuk menutup penjualan yang 65 kg, maka:
60 kg menggunakan unit price Rp 3,000
5 kg menggunakan unit price Rp 3,100
Total HPP 10 Maret:
60 x 3,000 = 180,000
5 x 3,100 = 15,500
----------------------- (+)
Total HPP = 195,500,-
Jika dimasukkan ke dalam table maka akan menjadi seperti dibawah ini:
Catatan : Perhatikan juga summary
Jika mau uji, silahkan gunakan formula COGS seperti yang saya lakukan di average method.
[3]. LIFO Method
LIFO stand for “Last In First Out”. Maksudnya “Barang yang masuk belakangan dijual terlebih dahulu”. Kedengarannya aneh. Memang aneh karena cara ini akan membuat HPP menjadi tidak realistic. Pikirkan, cost yang dibebankan menggunakan cost dari pembelian terakhir, tanpa memperhitungkan adanya kemungkinan barang yang terjual tercampur antara persediaan yang menggunakan harga lama ditambah dengan barang baru dengan harga baru. Di negara luar (misalnya USA) methode ini sangat tidak dianjurkan, bahkan dianggap praktek illegal, jikapun ada yang mengguanakan methode ini, maka akan diawasi sangat ketat oleh pemerintahnya.
Ok, kita coba hitung dengan methode ini seperti apa hasilnya?
Transaksi tanggal 01 maret bisa kita ketahui hasilnya akan sama dengan methode yang lainnya, so tidak perlu kita coba.
Langsung ke transaksi tanggal 10 Maret:
Saldo awal 60 kg dengan unit cost 3,000
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Sesuai konsepnya: Last In First Out, maka:
30 kg x Rp 3,100 = 93,000
35 kg x Rp 3,000 = 105,000
---------------------------- (+)
Total HPP = 198,000,-
Tabelnya menjadi seperti ini:
Kesimpulan :
Menggunakan masing-masing method di atas hasilnya (perhatikan summary di masing-masing tabel):
Opening Balance tetap sama :
Qty = 100 kg, Rp 300,000
Purchase tetap sama :
Qty = 95 kg, Rp 303,000
COGS quantity sama 135 kg, tapi value-nya berbeda:
Average = 396,565
FIFO = 393,000
LIFO = 398,000
Closing Balance, Qty sama 65 kg, tetapi value berbeda-beda:
Average = 206,435
FIFO = 210,000
LIFO = 205,000
Kajian Perpajakan
COGS atau Harga Pokok Penjualan adalah vital dalam perhitungan pajak, tinggi rendahnya PPh sangat dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan. Untuk nilai penjualan yang sama, semakin tinggi Harga Pokok Penjualannya, maka semakin rendahlah labanya, sudah tentu pajaknya juga akan makin rendah, and vice versa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
[1]. Freight: freight adalah elemen COGS, pengakuan biaya freight harus sesuai.
[2]. Discount & Return atas pembelian :
Perhitungkanlah discount dengan semestinya. Lupa memperhitungkan discount akan mengakibatkan pembebanan COGS menjadi lebih besar dari yang seharusnya, jika tidak ketahuan oleh Ditjend pajak, tentu itu bagus, artinya COGS lebih tinggi, artinya laba lebih rendah, pajak lebih rendah. Tetapi jika ketahuan, maka ini akan menjadi koreksi saat pemeriksaan.
[3]. Metode Penentuan HPP & Inventory Valuation.
Jika kita perhatikan dari kesimpulan di atas, jelas bisa kita lihat bahwa menggunakan LIFO method akan menghasilkan COGS paling tinggi. Mengapa? Karena trend harga pembelian terus meningkat. Ingat konsep LIFO, unit cost yang dipakai sebagai dasar penghitung HPP adalah harga pembelian yang the most recent (terkini?). Kita tahu di negara kita tercinta ini Inflasi cenderung meningkat dari bulan ke bulan and tahun ke tahun. Kejadian harga turun adalah langka. Menggunakan LIFO method akan menghasilkan PPh paling rendah!
COGS tertinggi berikutnya adalah “Average Method”, hampir mendekati LIFO, hanya saja value yang diambil adalah nilai tengahnya.
FIFO, adalah yang paling rendah COGS-nya. Sekaligus yang paling realistic.
Apakah anda akan beralih ke LIFO?
Apapun methode yang anda gunakan boleh saja, sepanjang anda terapkan secara CONSITANT.
Apakah masih mau memakai LIFO? Untuk mengurangi PPh? Mau?.
Reveal this (anggap ini PR)!!!:
Menggunakan LIFO, disatu sisi COGS anda saat ini akan menjadi tinggi, so anggaplah PPH menjadi lebih rendah dibandingkan 2 method lainnya. Ingat formula COGS?
COGS = Saldo Awal + Purchase – Saldo Akhir
Saldo Akhir periode lalu adalah saldo awal periode sekarang, so….?
Saldo Akhir periode sekarang adalah saldo awal periode yang akan datang bukan?.
Jika COGS periode sekarang lebih tinggi, maka saldo akhir akan menjadi lebih rendah bukan?, then? Artinya saldo awal periode yang akan datang menjadi lebih rendah dari yang seharusnya bukan?. Untuk purchase yang sama, COGS yang sama, tetapi saldo awalnya lebih rendah dari yang seharusnya, apakah yang akan terjadi?, COGS jadi lebih rendah juga!. So? COGS sekarang memang lebih tinggi, tetapi tahun depan?. Lebih rendah dari yang seharusnya bukan? Bukan? Perlu pengujian yang lebih jauh dan detail. Ada yang berminat untuk mengotak-atiknya selepas kerja? Daripada nonton sinetron… :P
0 komentar:
Posting Komentar